Minggu, 26 Januari 2014

Penantian Sia-Sia

Aku melirik jam tanganku. Ah,19.45.  Hebat. Dia telat lagi. 45menit,  gumamku dalam hati. Ya, malam ini aku sedang menunggu sahabat ku—calon pacarku, tepatnya—di sebuah kafe dekatalun-alun kota. Madya mengajakku makan malam. Dia bilang, dia akan memberikankejutan padaku. Sama sekali tidak terlintas di pikiranku apa yang akan diaberikan padaku. Malam-malam begini, pikirku. Suatu kejutan? Kejutan apa? Selamaini, selama aku bersahabat dengannya, Madya tidak pernah merahasiakan apapun dariku.Sekalipun dia akan memberiku kejutan, biasanya dia langsung memberitahunyapadaku. Tapi kali ini tidak!
Waktu terus berputar, dan akusemakin penasaran dengan kejutan yang akan diberikan Madya. Aku tidak pernahberharap apa-apa darinya. Tepatnya tidak pernah meminta berlebihan. Sesekaliaku berpikir, Madya begitu baik padaku. Dia selalu ada buatku. Tentu saja,bukankah itu gunanya sahabat. Tapi selama ini, entah mengapa ada persaan lainyang tersirat dalam hatiku tentang Madya. Aku seakan tidak bisa melakukanapa-apa tanpanya. Terlebih saat aku ‘drop’ karena Reza—mantanku—meninggalkankudua bulan yang lalu. Aku rapuh. Aku tidak bisa apa-apa lagi. Dan aku terpuruk.Hingga akhirnya aku bertemu dengan Madya di temapt ini. Di kafe ini. Tepat dimeja yang aku tempati sekarang ini. Meja 11. Dan Madya tepat di belakangku. 12.Ia tersenyum padaku. Dan aku membalasnya. Mulai saat itulah aku mengenalnya.Mulai dekat dengannya. Dan aku rasa aku mulai menyukainya.
30 menit berlalu. Dan aku semakinterhanyut pada khayalan dan imajinasiku. Bagaimana jika Madya datang danmembawa setangkai bunga mawar merah untukku, lalu ia bertanya, MAUKAH KAUMENJADI PACARKU? Atau Madya tiba-tiba naik ke atas panggung di kafe ini lalumenyanyikan sebuah lagu romantis dan berkata bahwa lagu itu dipersembahkanuntukku seorang? Ah, aku semakin terbuai saja dengan semua ilusiku. Tapi apapunitu, aku yakin, Madya melakukan hal terbaik untukku.
Saat aku mulai bosan olehpenantianku, seorang lelaki membuka pintu kafe yang terbuat dari kaca. Madya!Dia tampak lebih tampan dan cool, menurutku, dengan setelan kaos berwarnamerah, celana jins, dan sepatu kets putih. Aku memandangnya lama. Terpesona!
“Eh, Res, maaf telat. Pasti udahnunggu lama, ya? Sorry deh…” Madya menyapaku yang masih terlihat lugu dan tidakberkedip sedikitpun.
“Wooyy..”serunya lagi
Aku terkesiap. Lalu membuyarkanimajinasiku. Membangunkan diriku sendiri dari terpesonanya aku begitu melihatMadya.
“Eh iya, nggak apa-apa kok. Udahbiasa, kalo nunggu kamu pasti lama. Sumpah, Madya, kamu…kamu…kamu……” akuberhenti. Kamu keren, tapi aku tidak mengatakannya.
“Ganteng ya? Emang sih! Udahbanyak orang yang bilang kalo aku ini ganteng, keren, cool, apapun itu.” Madyamengedipkan matanya, merasa bangga.
“Oh iya, katanya kamu mau ngasihkejutan buat aku. Apaan? Gaya baru kamu ini? Oke deh aku ngaku aku kaget plusterkejut liat style kamu kayak gini..” aku tersenyum.
“Bukan itu! Tapi aku maumemperkenalkan kamu seseorang” jawab Madya serius.
Aku bingung. Seseorang? Siapa?Apa pentingnya aku untuk mengetahui orang ini? Tiba-tiba seorang wanita cantikbergaun ungu muda menghampiri Madya dan memegang tangannya erat.
“Kenalin, ini Tita,…..”
“Pacarku….”
Aku terdiam untuk beberapa saat.Pacar? Sejak kapan? Mengapa?
“Aku sama Tita baru jalan 2 minggu…”sahut Madya melanjutkan.
Seolah menyembunyikan rasakecewaku, aku mempersilakan Madya dan Tita duduk dan memanggil waiter untukmemesan makanan. Makan malam ini  terasacanggung, setidaknya buatku. Madya-ku telah pergi dan aku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar